Masalah Ekonomi, Sosial dan Budaya | |||||||||||||||||||||||||||||||||
Yayasan Pemuda Insos Kabor Biak, disingkat Yapikbi, didirikan tanggal 14 Desember 2000, dengan Akte Notaris Nomor 12 Tahun 2000, sebagai reaksi terhadap penderitaan panjang di bawah sistem-sistem represif yang berawal dari penjajahan Belanda (1882 1962), pendudukan brutal Jepang 1940an (selama sekitar 3 tahun) hingga dengan Soekarno dan Suharto yang membunuh banyak orang-tua kami. Kami mengkategorikan diri kami sebagai generasi hilang akibat sistem represif berkepanjangan. Kami memprediksi bahwa sebagai imbas dari kekuasaan represif tadi, maka 25 tahun mendatang anak-anak kami akan tetap mengalami kesulitan di dalam mengembangkan diri. Sebagai generasi hilang, kami tidak menginginkan anak-anak kami mengalami nasib yang sama. Kami mendirikan Yapikbi untuk menjalankan berbagai aktivitas sebagaimana dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Kami berjuang untuk survive (mempertahankan kehidupan) sambil menantang Papua Baru yang kami dambakan. Papua Baru yang penuh dengan keadilan dan kedamaian. Demografik Populasi: 106.554 orang Bangsa Pribumi: 55.422 laki 51.132 perempuan (73.163 dewasa, 33.391 anak) Pendatang: 32% x 106,554 = 34.097 orang Angka Kematian per tahun: 301 Angka Kelahiran per tahun: 2.254 Kesehatan 2 Rumah Sakit Militer (1 AD, 1 AL) 14 Puskesmas Akibat Umum Kematian: malaria Pendidikan 185 Sekolah Dasar dengan 1.500 tenaga pengajar 29 SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dengan 288 tenaga pengajar 13 SMU (Sekolah Menengah Umum) dengan 299 tenaga pengajar 1 Sekolah Industri Perikanan 1 Sekolah Turisme 1 Akademi Teknik 1 Akademi Administrasi Bisnis 1 Akademi Ekonomi Tenaga Kerja Pendapatan Daerah pada umumnya diperoleh dari pajak, perikanan dan turisme Pegawai Negri: 3.613 orang Angka statistik bulan Januari 2002 menunjukkan jumlah pengangguran sebesar sekitar 11.327 (6.627 laki; 4.700 perempuan) Anggaran Tahunan Pemda (tahun 2000): Rp 84.803.792.100 (1 US$ is approx. Rp 10.000.00) Sumber: Kantor Statistik Kantor dan BKKBN, December 2000; Kantor Bupati Biak-Numfor: Kantor Perindustrian dan Perdagangan; Kantor Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah. Pendidikan tidak merupakan prioritas utama pemerintah Indonesia di Papua. Papua telah lama merupakan provinsi yang terlupakan dan hingga kini masih merupakan provinsi paling terkebelakang dalam bidang pembangunan di Indonesia. Untuk itu, tingkat SDM (sumber daya manusia) di Papua sangat rendah. Walaupun kekayaan alamnya besar, rakyat Papua sulit menikmati keuntungannya. Seluruh hasil kekayaan alam masuk ke Jakarta. Kwalitas pendidikan di Papua sangat rendah, dan ini sama pula di Biak. Otonomi Khusus (otsus) yang ditawarkan sejak 1 Januari seyogianya dapat mempromosikan pemberdayaan SDM bangsa pribumi Papua. Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa Indonesia tidak pernah menindak-lanjuti rencananya dan sebagai konsekwensi, rakyat Papua sangat berhati-hati terhadap setiap rencana pemerintah. Terlepas dari kenyataan bahwa adanya sekolah (SD, SLTP, SMU dan Sekolah Kejuruan) dengan jumlah yang sangat sedikit, tidak terdapat tenaga pendidik yang berkwalikasi dan tidak adanya keuangan yang memadai untuk membeli buku dan peralatan pendidikan yang sangat dibutuhkan. Sungguh disayangkan, tidak ada data statistik yang tersedia di kantor pemda Biak. Tabel di bawah ini menunjukkan data yang tersedia di pemda provinsi di Numbay (nama pribumi bagi Jayapura) berdasarkan studi langsung di lapangan. PENDIDIKAN JUMLAH (ORANG) % 307.395 143.571 300.156 107.904 9.180 61.620 51.585 13.803 31 14 30 11 1 6 5 1 Total 995.214 100 Sumber: YYPWI didalam laporannya tentang Pembangunan di Provinsi Papua, 2001 Sebagai akibat, angka pengangguran masyarakat pribumi Papua semakin meningkat, kaum pendatang (migran) dari luar Papua mendominasi lapangan kerja dan pemuda Papua kadang didiskriminasikan (karena tingkat ketrampilan mereka yang rendah dan walaupun hal ini adalah benar tapi harus dijelaskan lebih khusus lagi tentang sebab-musababnya). Angka anak usia sekolah yang tidak menikmati pendidikan formal semakin meningkat. Di Papua secara umum, dan tak terkecuali Biak, pemberdayaan SDM adalah mutlak penting. Walaupun prospek Otsus (otonomi khusus) memberi harapan, aspek-aspek pemberdayaan SDM tidak terperinci dijelaskan didalam paket Otsus dan kenyataan implementasinya masih harus dilihat. Masyarakat Papua tidak homogen melainkan heterogen (terdiri dari berbagai suku dan ras). Ada sekitar 1 juta pendatang (migran) Indonesia tersebar di seluruh Papua. Konflik antara masyarakat pribumi dan pendatang semakin meningkat walaupun sejauh ini masih dalam bentuk psikhologis. Hampir tidak lagi terhitung bangsa pribumi, kaum migran mendominasi seluruh sektor kehidupan: secara politik, ekonomis, sosial dan kultural. Ini bisa saja menimbulkan pecahnya kekerasan fisik yang pada gilirannya akan menjadi alasan bagi militer (TNI) untuk secara brutal menindak masyarakat pribumi dalam usahanya untuk membelah kaum pendatang di Papua sekaligus mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Angka statistik menunjukkan bahwa 32% dari penduduk Biak adalah kaum migran. Lebih dari itu, saksikanlah sendiri perbandingan personil di dalam pertokoan, bank-bank, perkantoran dan lain-lain di Biak yang menunjukkan bahwa mayoritas personil adalah kaum pendatang (non-pribumi). Diskriminasi dan frustrasi dapat saja menyulut konflik etnis dan pecahnya kekerasan sebagaimana pernah terjadi di Wamena (6 Oktober 2000), Bonggo (September 2001), dimana terjadi bentrokan (clash) yang menimbulkan mengungsinya kaum migran dan memberikan kesempatan bagi TNI untuk melakukan arestasi secara serampangan serta menganiaya masyarakat sipil yang tak berdosa. 4. Pengangguran Biak memiliki hanya beberapa perusahaan, dari sektor swasta dan negara, dan sulit bagi orang Papua untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagaiman tersebut di atas, kesempatan kerja di Papua (termasuk Biak) didominasi oleh pendatang (kaum migran) dari Indonesia. Angka pengangguran (pencari kerja) di Biak tahun 2003 berkisar 1.444 orang (tidak termasuk yang belum terdaftar). Ini merupakan angka produktif dari jumlah penduduk Biak yang sekarang berkisar 160.000 jiwa. Pengangguran di antara masyarakat pribumi Papua mengakibatkan banyak masalah sosial seperti kriminalitas, pemabukan alkohol, pelacuran, pelecahan HAM perempuan, perceraian, pelecehan HAM anak, pencurian, kerja paksa, dll. Source: Cenderawasih Pos RADAR BIAK, 13 Desember 2003 Exploitation of natural resources with consequences for environmental destruction; ethnic and tribal differences as possible source for conflict; lack of good administration/rule; military control over the public authorities, incapacity of the NGOs and underdeveloped communities clearly depict the complexity of the existing problems. There seems to be more space for democratic process in Indonesia, since the fall of the Indonesian dictator, Soeharto (retired general), in 1998. Unfortunately, West Papua and Aceh as richest provinces have worst paths to walk over. Annual reports by Amnesty International, Human Rights Watch, State Department of United States, UN High Commissioner for Human Rights, UN Office for the Co-ordination of Humanitarian Affairs (OCHA) and other HR bodies have regularly revealed gross human rights abuse in West Papua. For Biak in particular, a number of human rights organizations have reported on the Biak massacre of 1998. During the 1 July flag raising (which in fact took place from 1 July up to and including the 5th of July) some 60 demonstrators were killed during a peaceful rally of innocent citizens led by Philip Karma. Eyewitness reports state that victims (including women and children) were forced into an Indonesian marine ship and killed on board, after which their bodies were bagged and thrown into the sea. While the government of Indonesia does not seem seriously interested in developing education, health care, agriculture, infrastructure and tourism in West Papua, it does back mining, logging and fishing companies to exploit Papuas natural resources. The state and its apparatus (including military) back large logging and mining companies who wish to operate in West Papua. It is not uncommon for military officers and governmental officials to have stocks or shares in those companies. There is no good administration/rule to resolve and protect the nature from further destruction. Land or areas owned by the indigenous people for traditional agriculture, fishing and hunting have been constitutionally claimed as state property by the government. Various reports by different NGOs repeatedly revealed the destruction of the nature by mining, logging and fishing companies. (as reported by Down to Earth, Friends of the Earth, etc.). As far as Biak is concerned, its population has always been able to provide for food by fishery. Biak has beautiful white beaches and blue seas, its corals are regarded as one of the most beautiful in the world, but this is also under serious threat. Fishermen are increasingly using cyanide and bombs (on a daily basis!) to get a large catch at the same time destroying large coral reefs and the underwater habitat. This ongoing destruction means endangering the very existence of the people. Most of the NGOs in Biak are newly established organizations that have arisen from dissatisfaction with government policy on the issues as described in this chapter. It is necessary to support (both materially and morally) the alternatives and initiatives proposed and taken by the local NGOs to assist disadvantaged people towards the process of "Civil Society Building". There is no independent local trade union in Biak, except the state run trade union called Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia). Korpri was established during Soeharto dictatorial regime to support the governmental policies for the benefit of the state and the multinationals. Most members of Korpri also face problems in their own trade union due to corruption, mismanagement, bureaucratic complexity and political abuse of the right to freedom of movement and expression. Initials efforts have been made by Jayapura-based activists for an independent trade union for West Papua, called the West Papua Interest Association that is led by Karel Waromi and has approximately 20,000 members. Though no official statistics are available to corroborate the information, Biak is said to have approx. 1,000 members. Thus far though, its representation in Biak lacks structure, leaders and organization (its members do not pay contribution). Workers in Biak are not yet fully aware of the importance of an independent trade union, especially for the workers from the private sector, such as street cleaners, taxi drivers, tailors, shop workers, harbour workers, factory workers, etc. Salary and social securities for these workers are mostly below the minimum and they can even be easily dismissed without any compensation. Ornop-ornop di Biak belum mampu mengembangkan jaringan kerja solidaritas internasional yang luas karena anggota-anggotanya belum menguasai bahasa Inggris dengan baik, padahal bahasa Inggris adalah alat (medium) yang sangat dibutuhkan didalam komunikasi internasional. Banyak aktivis di Biak memperlihatkan kurangnya pengetahuan mereka atas program-program computer (word processing skills). Umpamanya SP2 (Solidaritas Perempuan Papua) di Biak, memiliki komunikasi yang tidak gampang dengan beberapa donor di Belanda dan Jerman karena kurangnya pengetahuan mereka atas bahasa Inggris. Ditambah lagi, kurangnya pengetahuan mereka atas penggunaan computer untuk menulis analisa, evaluasi, laporan dan proposal untuk menjaring dukungan masyarakat internasional. |
Jumat, 16 April 2010
Masalah Ekonomi, Sosial dan Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar