A. Pengertian Bangsa dan Negara
Bangsa (nation) menurut Hans Kohn (Kaelan, 2002: 212-213) bahwa bangsa terbentuk oleh persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara dan kewarganegaraan. Sedangkan Ernest Renan menyatakan bahwa bangsa (nation) adalah suatu solidaritas, suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu solidaritas yang dapat tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah lampau dan bersedia dibuat di masa yang akan datang. Meskipun dikalangan pakar kenegaraan belum terdapat persamaan pengertian bangsa, namun faktor objektif yang terpenting dari suatu Bangsa adalah kehendak atau kemauan bersama yang lebih dikenal dengan nasionalisme.
Fredrich Hertz dalam bukunya “Nationality in History and Politics” mengemukakan bahwa setiap bangsa mempunyai 4 (empat) unsur aspirasi sebagai berikut:
1. Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri atas kesatuan sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, komunikasi, dan solidaritas.
2. Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional sepenuhnya, yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan bangsa asing terhadap urusan dalam negerinya.
3. Keinginan dalam kemandirian, keunggulan, individualisme, keaslian, atau kekhasan.
4. Keinginan untuk menonjol (unggul) diantara bangsa-bangsa dalam mengejar kehormatan, pengaruh, dan prestise.
Setelah manusia membangsa, mereka menuntut suatu wilayah untuk tempat tinggalnya yang kemudian diklaim sebagai negara. Selanjutnya pengertian negara menjadi lebih luas, negara tidak hanya diartikan wilayah tetapi juga meliputi pemerintah, kedaulatan, penduduk, dan beberapa syarat lainnya.
Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok manusia tersebut.
Kansil menyatakan bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari pada manusia-manusia (masyarakat) dan merupakan alat yang akan dipergunakan untk mencapai tujuan bersama.
Kranenburg menyatakan bahwa suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
Sementara George Jellinek menyatakab bahwa Negara ialah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
Teori Terjadinya Negara
Terdapat beberapa teori antara lain sebagai berikut:
b) Teori Kenyataan, timbulnya suatu negara ketika telah terpenuhi unsur-unsur negara (daerah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat) maka pada saat itu juga negara sudah menjadi suatu kenyataan.
c) Teori Ketuhanan, timbulnya negara karena Tuhan menghendaki. Kalimat Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa (by the grace of god) menunjuk ke arah teori ini, walaupun bangsa Indonesia tidak menganut teori ini.
d) Teori Perjanjian, negara timbul karena perjanjian yang diadakan antara manusia yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas satu sama lain tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini diadakan agar ada penguasa yang bertugas menjamin kepentingan bersama dapat terpelihara. Perjanjian itu disebut perjanjian masyarakat (contract social) menurut ajaran Rousseau perjanjiandapat juga terjadi antara pemerintah negara penjajah dengan rakyat di daerah jajahan, seperti kemerdekaan Filipina pada tahun 1946 dan India pada tahun 1947.
e) Teori Penaklukan, suatu negara timbul karena serombongan manusia menaklukan daerah dan rombongan manusia lain. Agar daerah/rombongan itu tetap dapat dikuasai, maka dibentuklah suatu organisasi yang berupa negara.
Selain itu suatu negara dapat pula terjadi karena:
1) Pemberontakan terhadap negara lain yang menjajah, seperti Amerika Serikat terhadap Inggris pada tahun 1776-1783.
2) Peleburan (fusi) antara beberapa negara menjadi satu negara baru, misalnya Jerman bersatu pada tahun 1871.
3) Suatu daerah yang belum ada rakyatnya/pemerintahannya diduduki/dikuasai oleh bangsa/negara lain, misalnya Liberia
4) Suatu daerah tertentu melepaskan diri dari yang tadinya menguasainya dan menyatakan dirinya sebagai suatu negara baru (misalnya Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945).
B. Bentuk Negara
Menurut teori-teori modern, bentuk negara yang terpenting ialah negara kesatuan (unitarisme) dan negara serikat (federasi).
1. Negara Kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat dimana di seluruh negara yang berkuasa hanya satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah.
Dalam negara Kesatuan pelaksanaan pemerintahan negara dapat dilaksanakan dengan sistem sentralisasi (segala sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sedang daerah-daerah tinggal melaksanakannya) dan sistem desentralisasi (daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri (otonom daerah) atau dikenal dengan daerah otonom.
Bentuk negara kesatuan pada umumnya mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Kedaulatan negara mencakup ke dalam dan ke luar yang ditangani pemerintah pusat
b. Negara hanya mempunyai satu undang-undang dasar, satu kepala negara, satu dewan menteri dan satu dewan perwakilan rakyat.
c. Hanya ada satu kebijakan yang menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, serta hankam.
2. Negara Srikat (Federasi) ialah suatu negara yang merupakan gabungan beberapa negara, yang menjadi negara-negara bagian dan negara serikat itu.
C. Tujuan Negara
Secara umum ada dua tujuan negara yaitu 1) negara penjaga malam, yaitu bahwa tujuan negara adalah melindungi /menjaga keamanan rakyatnya, 2) negara kesejahteraan (welfarestaats) yaitu bahwa tujuan negara bukan semata-mata menjaga keamanan rakyatnya tapi juga ikut mensejahterakan rakyatnya tersebut.
D. Tujuan Negara RI
Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan negara RI adalah:
1. Melindungi seluruh dan segenap bangsa Indonesia
2. Mencerdaskan kehidupan bangsa
3. Memajukan kesejahteraan umum
4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
E. Pengertian Warga Negara dan Penduduk
Pengertian warga negara menunjukkan keanggotaan seseorang dari institusi politik yang namanya negara. Ia sebagai subyek sekaligusobjek dalam kehidupan negaranya. Oleh karena itu seorang warga negara senantiasa berinteraksi dengan negara, dan bertanggung jawab atas keberlangsungan kehidupan negaranya. Menurut
Pasal 26 ayat 1 bahwa “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”.
Perkataan “asli” di atas mengandung syarat biologis bahwa asal usul atau turunan menentukan kedudukan sosial seseorang itu “asli” atau “tidak asli”. Keaslian ditentukan oleh turunan atau adanya hubungan darah antara yang melahirkan dan yang dilahirkan. Dengan demikian penentuan keaslian bisa didasarkan atas tiga alternatif, yaitu:
a) turunan atau pertalian darah (geneologis)
b) ikatan pada tanah atau wilayahnya (territorial)
c) turunan atau pertalian darah dan ikatan pada tanah atau wilayah (geneologis-territorial)
Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia (Pasal 26 ayat 2 UUD 1945).
Dalam ketentuan UU No. 3 tahun 1946 tentang warga negara dan penduduk negara, pasal 14 ayat 1 dinyatakan “Penduduk Negara Indonesia ialah tiap-tiap orang yang bertempat kedudukan di dalam daerah negara Indonesia selama 1 tahun berturut-turut. Dengan demikian WNA dapat dinyatakan sebagai penduduk ketika yang bersangkutan telah bertempat tinggal selama 1 tahun berturut-turut. Pasal 13 UU No. 3 tahun 1946 disebutkan “bahwa barang siapa bukan warga negara Indonesia ialah orang asing”.
Yulianus S, dkk (1984) dalam KBBI, mengartikan Rakyat adalah orang-orang yang bernaung di bawah pemerintah tertentu. Sedangkan Hazairin (1983) dalam Demokrasi Pancasila mengartikan Rakyat ialah sejumlah orang yang dikuasai, diperintah, dilindungi, dipelihara, diasuh oleh penguasanya.
Perbedaan antara rakyat dan Bangsa adalah bahwa Rakyat lebih menunjukkan ikatan/hubungan politis yaitu sebagai sekelompok orang yang dikuasai/diperintah oleh suatu penguasa/pemerintahan tertentu, sedangkan Bangsa merupakan ikatan yang berdasarkan ikatan yang berdasarkan biologis, kultur, territorial, dan historis. Sehingga satu bangsa dimungkinkan milik beberapa negara. Misalnya, bangsa Arab terpecah-pecah dalam berbagai negara seperti dalam wadah negara Irak, Iran, Yaman, dan saudi Arabia. Dengan demikian dalam diri seorang warga negara ada peran sebagai rakyat dan sebagai bangsa.
F. Asas-asas Kewarganegaraan
Cara Memperoleh Kewarganegaraan
Ada 6 syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, yaitu:
1. Karena kelahiran
Yaitu kewarganegaraan diperoleh karena kelahiran berdasarkan keturunan.
2. karena pengangkatan
Anak atau orang asing yang diangkat dapat diberikan status kewarganegaraan orang tua yang mengangkatnya.
3. karena permohonan
Yang dimaksud adalah permohonan menjadi WNI terutama diperuntukkan bagi anak di luar perkawinan dan kepada anak keturunan asing yang menjadi penduduk negara atau lahir dari seorang penduduk negara.
4. karena pewarganegaraan
Apabila menjadi WNI karena permohonan diperuntukkan bagi anak, maka menjadi WNI karena pewarganegaraan diperuntukkan bagi orang asing yang sudah dewasa. Ada dua cara pewarganegaraan yaitu pewarganegaraan biasa atau permohonan orang yang ingin menjadi WNI dan pewarganegaraan atas keinginan pemerintah. Cara yang kedua ini dasar pertimbangannya karena dianggap telah berjasa terhadap RI selayaknya diwarganegarakan. Sedangkan cara yang pertama (pewarganegaraan biasa) ada beberapa syarat, yaitu:
1) Sudah berumur 21 tahun
2) Lahir dalam wilayah RI atau bertempat tinggal di daerah itu selama 5 tahun berturut-turut atau selama 10 tahun secara tidak berturut-turut.
3) Surat permohonan disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas materai kepada Menteri Hukum dan HAM melalui Pengadilan Negeri di tempat tinggal pemohon yang harus dilengkapi surat-surat sbb:
a) Salinan sah akte kelahiran/surat kenal lahir pemohon
b) Surat keterangan kewarganegaraan yang diberikan oleh Kantor Wilayah Imigrasi atau Kantor Imigrasi Daerah Setempat yang menyatakan bahwa pemohon bertempat tinggal secara sah di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.
c) Salinan sah Surat Tanda Melapor Diri (STMD)
d) Surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian setempat
e) Salinan sah akte perkawinan dan surat persetujuan isteri (bagi yang sudah menikah) atau salinan sah akte perceraian/kematian suami atau surat keterangan sah yang menyatakan bahwa wanita pemohon pewarganegaraan benar-benar tidak terikat dalam perkawinan.
f) Surat keterangan kesehatan dari dokter
g) Bukti pembayaran uang pewarganegaraan dari Kas Negara/ Pos/ Perwakilan RI
h) Surat keterangan bermata pencaharian tetap dari pejabat peerintah sekurang-kurangnya Camat
i) Surat keterangan dari perwakilan negara asal atau surat bukti bahwa setelah memperoleh kewarganegaraan RI, pemohon tidak mempunyai kewarganegaraan lain, dan khusus bagi warga negara RRC cukup melampirkan surat pernyataan melepaskan kewarganegaraan asal yang ditandatangani pemohon.
j) Surat tanda pembayaran ongkos administrasi pengadilan negeri
k) Pas foto
5. Karena atau sebagai akibat dari perkawinan
Maksudnya bahwa dalam perkawinan kedua mempelai sedapat-dapatnya mempunyai kewarganegaraan yang sama (asas kesatuan kewarganegaraan). Namun apabila hal itu menimbulkan bipatride atau apatride, maka asas kesatuan kewarganegaraan dilepaskan.
6. Karena turut Ayah atau Ibunya
Anak yang belum dewasa turut memperoleh kewarganegaraan RI dengan ayahnya atau Ibunya (apabila tidak ada hubungan hukum kekeluargaam dengan ayahnya).
7. Karena Pernyataan
Maksudnya seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang WNI memproleh kewarganegaraan RI, apabila dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, atau diam-diam saja dalam waktu tersebut dan suaminya tidak menyatakan keterangan melepaskan kewarganegaraan.
Cara Kehilangan Kewarganegaraan
Seorang yang telah menjadi WNI tidaklah bersifat permanen/tetap, dapat saja sewaktu-waktu kehilangan kewarganegaraan RI. Berdasarkan Pasal 17 UU No. 62 Tahun 1958 seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan RI karena:
1. Memperoleh kewarganegaraan asing
2. Tidak melepaskan kewarganegaraan lain
3. Diakui oleh orang asing sebagai anaknya
4. Anak yang diangkat dengan sah oleh orang asing sebagai anaknya
5. Dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Menteri Kehakiman dan HAM
6. Masuk dinas militer atau dinas negara asing tanpa izin dari Menteri Kehakiman dan HAM
7. Bersumpah atau berjanji setia kepada negara asing
8. Turut serta dalam pemilihan yang bersifat ketatanegaraan negara asing
9. mempunyai paspor negara asing
10. Selama 5 tahun berturut-turut tinggal di negara asing dengan tidak menyatakan keinginan tetap menjadi WNI.
G. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menetapkan hak dan kewajiban sebagai warga negara mencakup pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33 dan 34.
Hak-hak warga negara yang substansial pada prinsipnya antara lain meliputi:
1. Hak untuk memilih/memberikan suara
2. hak kebebasan berbicara
3. Hak kebebasan pers
4. hak kebebasan beragama
5. Hak kebebasan bergerak
6. Hak kebebasan berkumpul
7. hak kebebasan dari perlakuan sewenang-wenang oleh sistem politik dan atau hukum
Sedangkan CCE (Center for Civic Education) mengajukan hak-hak individu yang perlu dilindungi oleh negara, meliputi: hak pribadi (personal rights), hak politik (political rights), hak ekonomi (economic rights)
Kewajiban warga negara merupakan aspek dari tanggung jawab warga negara (citizen responsibility/civic responsibilities) (CCE, 1994: 37).Contoh yang termasuk tanggung jawab warga negara antara lain:
1) melaksanakan aturan hukum
2) menghargai orang lain
3) memiliki informasi dan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya
4) melakukan kontrol terhadap para pemimpin yang dipilihnya dalam melakukan tugas-tugasnya
Selasa, 01 Maret 2011
Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)